BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan Negara. Hal ini sangat riskan mengalami perubahan karena faktor waktu. Setiap zaman mempunyai generasinya sendiri. Tak dapat disangkal bahwa dalam setiap gerak laju sejarah akan terjadi patahan-patahan yang meniscayakan pergeseran atau bahkan perubahan atas sebuah fenomena dalam kehidupan. Kuhn menyebutnya sebagai Revolusi paradigma. Yakni perubahan dari satu paradigma kepada paradigma yang lain setelah melewati tahap anomali dan krisis dalam paradigma itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan Pendidikan di Indonesia? Paradigma macam apa yang sebenarnya menjadi karakter pendidikan kita di setiap masanya? Akankah anomali dan krisis dalam pendidikan mampu membawa perubahan yang berarti bagi Indonesia?
Lintasan sejarah panjang Indonesia telah melahirkan sekian banyak kebijakan negara terkait dengan kepentingan publik yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan nasional. Dimulai sejak masa kolonial -dengan lahirnya politik etis tahun 1901-, orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini. Dari masa ke masa kebijakan tersebut selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mau tak mau harus terus-menerus bergerak mengikuti gelombang modernisasi dan persaingan global. Perubahan tersebut mengindikasikan adanya perubahan paradigma masyarakat dan pemangku kebijakan dalam melihat berbagai persoalan kebangsaan, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Dalam konteks pendidikan, Perubahan atau pergeseran paradigma tersebut dapat kita amati pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sana dijelaskan, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.UU Sisdiknas tersebut, disadari atau tidak, telah melahirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan nasional.
Sebuah paradigma yang memiliki tujuan dan orientasi masa depan pendidikan yang didasarkan pada pencapaian Kompetensi secara integral dan holistik bagi berbagai elemen pendidikan yang dibakukan dalam Standar Nasional Pendidikan. Hal ini, berpengaruh pada seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari pemegang kebijakan, praktisi, pengamat, masyarakat dan peserta didik, yang tentu saja pada akhirnya akan melahirkan akumulasi berbagai respon publik, baik yang pro maupun kontra. Tak dapat disangkal, perubahan kurikulum ini mengindikasikan munculnya perubahan orientasi dalam dunia pendidikan itu sendiri yang terus-menerus berubah dan berkembang seiring perubahan zaman. Di samping itu sejalan dengan perubahan kurikulum, tentunya metode dalam proses pembelajaran, yang menjadi ruang dialektika posisi dan fungsi antara guru dan anak didik pun tak luput dari perubahan. Perubahan kebijakan yang dipengaruhi oleh adanya perubahan paradigma tersebut ternyata tidak hanya berimplikasi pada pendidikan formal an sich mulai dari tingkat dasar sampat tingkat perguruan tinggi baik di level pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA dan PT ataupun di level pendidikan yang berbasis agama seperti madrasah dan PTAI. Melainkan, perubahan paradigma tersebut juga berpengaruh pada lembaga pendidikan non formal, laiknya pesantren. Lebih jauh lagi, perubahan tersebut ternyata juga membawa dampak yang signifikan terhadap akses pendidikan bagi perempuan di Indonesia serta munculnya fenomena baru dalam dunia pendidikan Indonesia seperti Home Schooling, Full Day School, IT, pendidikan kesehatan reproduksi masuk sekolah, pembedaan antara sekolah kategori standar-kategori mandiri-Sekolah Internasional ataupun sistem SKS yang mulai diberlakukan dan diujicobakan di SMA.Dalam konteks ini Perubahan paradigma pendidikan di Indonesia dari masa ke masa, sudah sepatutnya ditempatkan sebagai dasar pijakan untuk merumuskan dan memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia. Dan, kajian tentang perubahan tersebut merupakan titik awal untuk memulai perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Selain itu, pendidikan yang merupakan sebuah entitas yang sangat penting untuk menciptakan tatanan sosial kemasyarakatan dan masa depan bangsa yang lebih baik sudah selayaknya mengalami perubahan yang dinamis. Dengan demikian, pendidikan akan selalu mengalami perkembangan dan dinamika sejalan dengan kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah. Di titik ini, benarkah perubahan demi perubahan yang telah terjadi ini akan menjadi sebuah mata rantai ”revolusi paradigma” dalam pendidikan di Indonesia yang akan bermuara pada tatanan pendidikan nasional yang lebih ideal dan benar-benar mampu mencerdaskan anak bangsa?
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
Dengan melihat masalah di atas tentunya kita tahu pentingnya Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Membangun Moral Bangsa, maka dari itu penulis merumuskan pembahasan dalam makalah ini yaitu apa yang harus dilakukan oleh kader HMI untuk mengptimalkan peran pendidikan dalam membangun moral bangsa. Dalam makalah ini penulis merasa perlu untuk membatasi masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Pendidikan di Indonesia
2. Kondisi Umat dan Bangsa saat ini
3. Strategi dalam mengoptimalkan peran pendidikan dalam membangun moral bangsa
C. Tuiuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Memenuhi salah satu syarat mengikuti LK II HMI cabang Jember
2. Membangun kembali paradigma Pendidikan Indonesia.
3. Menyumbangkan sekelumit idea tau gagasan untuk HMI kedepan
BAB II
Strategi HMI dalam Mewujudkan Masyarakat Madani (Civil Society)
A. Kondisi kebangsaan
Dalam perjalanannya, sukar disangkal mahasiswa yang terdiri dari kaum muda tidak punya andil besar dalam perubahan. Melihat sepak terjang mahasiswa dalam sejarah pergerakannya, mahasiswa di Indonesia adalah salah satu Elemen Bangsa yang selalu mencetuskan perlawanan dan perubahan terhadap ketidakadilan yang melanda seluruh negeri. Sudah menjadi takdir sosial politiknya bila mahasiswa adalah pengingat maupun pengontrol abadi bagi penguasa.
Namun pasca gerakan reformasi tahun 1998, gerakan mahasiswa seolah kehilangan gairahnya untuk melakukan perlawanan kembali. Padahal tuntutan-tuntutan mahasiswa dan masyarakat yang diserukan selama aksi penjatuhan Soeharto saat itu hingga kini banyak belum jelas realisasinya dan rakyat pun semakin tidak jelas menatap masa depan bangsanya, karena berhentinya proses transisi yang terjerumus dalam perangkap freezing democration, akibatnya sistem politik demokrasi yang sempat bersemi di awal reformasi terancam layu karena berbagai kendala yang ada.
Dalam hal ini Sorensen mengembangkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu
1. Sempoyongannya ekonomi baik nasional maupun lokal
2. berhentinya proses pembentukan civil society
3. Konsolidasi sosial-politik yang tidak pernah mencapai soliditas dan cenderung semu
4. Penyelesaian masalah-masalah sosial politik dan hukum yang tidak pernah tuntas yang diwariskan rezim-rezim terdahulu.
Demokrasi yang berkembang di Indonesia adalah demokrasi liberal yang sudah barang tentu tidak sesuai dengan kultur dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Demokrasi Liberal diimplifikasikan sebagai kebebasan, namun kebebasan saat ini sudah kebablasan, kebebasan versi liberalisme yang individualistik. Akibatnya permainan politik elite sudah mulai mengkhianati subtansi dari demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya merupakan kekhasan dari demokrasi Indonesia. Demokrasi kerakyatan dapat kita terjemahkan dengan gotong royong. Di mana konsep gotong royong ini adalah perwujutan nilai-nilai intrinsik dalam budaya masyarakat Indonesia sehari-hari.
Konsolidasi elite sangat sulit tercapai karena tujuan mereka bukannya memperjuangkan cita-cita bersama harapan rakyat Indonesia lagi, melainkan mereka sibuk bergulat dengan masing-masing kepentingan serta meninggalkan rakyat jauh dibelakang dengan segenap kesengsaraan. Proses copy paste liberalism ideology dari Barat yang tengah berlangsung dalam sistem politik nasional telah merusak sendi-sendi fundamental kenegaraan Indonesia dan menimbulkan kekacauan dalam tata kenegaraan Indonesia. Maka pada masalah kebangsaan kita kali ini sangat berjalin-kelindan. Pada satu sisi, elit atau tokoh masyarakat yang sedang menjabat maupun yang mempunyai pengaruh tidak paham terdapat gagasan-gagasan kebangsaan sedangkan sistemnya sungguh sangat rapuh. Elite-nya selalu bergerak dalam ranah kekuasaan untuk kekuasaan bukan kekuasaan untuk kesejehateraan rakyat.
Dalam bidang Ekonomi, tentu saja seluruh rakyat di negeri ini menginginkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupannya, terlebih ketika reformasi bergulir kala itu salah satu tuntutannya adalah pemulihan ekonomi dari akibat-akibat yang ditimbulkan krisis moneter. Namun pada kenyataannya globalisasi ekonomi dan neoliberalisme telah merusak mimpi-mimpi kesejahteraan rakyat Indonesia. IMF dan World bank telah merubah pola kebijakan ekonomi Indonesia secara drastis. Mereka, atas nama mempersiapkan Indonesia menyongsong era globalisasi, memaksakan ideology neoliberalisme menjadi dasar dari Pengambilan Kebijakan Ekonomi Negara.
Ekonomi Indonesia menjadi ekonomi pro pasar dimana prinsip survival of the fittest berjalan. Negara melakukan privatisasi dihampir semua bidang, menjual aset-aset negara yang menguntungkan dan strategis, menyerahkannya semuanya kepada swasta dan mekanisme pasar untuk bersaing dan berkompetisi untuk menciptakan kemakmuran bagi diri masing-masing. Siapa yang kuat maka ia yang akan bertahan dan terus hidup. Konsep Negara kesejahteraan yang sudah dibangun founding fathers sejak awal kemerdekaan untuk melindungi segenap rakyat Indonesia dari kemelaratan sudah hilang ditelan lembar-lembar sejarah. Amanah konstitusi sudah dikangkangi oleh pihakpihak yang sesungguhnya merupakan penjaga dan pengawal konstitusi untuk dilaksanakan maupun diwujudkan.
Negara seolah cuci tangan menunaikan kewajiban terhadap rakyatnya. Bahkan pendidikan dan kesehatan pun saat ini akan dibuka pintunya bagi seluas-luasnya keterlibatan swasta, akibatnya rakyat miskin semakin tidak menjangkau pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan karena mahal, sungguh sebuah negeri yang kebelinger. Jadi tidak mengherankan timbul istilah orang miskin dilarang sekolah atau orang miskin dilarang sakit sebagai sindiran dan kritik social terhadap kenyataan yang terjadi.
Perekonomian rakyat yang menjadi landasan negara di bidang ekonomi ditinggalkan, Negara lebih sibuk bermain dalam tataran moneter, menentukan nilai tukar kurs rupiah terhadap mata uang asing dalam pasar mata uang dan mengecek jatuh bangunnya nilai indeks di bursa-bursa saham sebagai indikator keberhasilan ekonomi yang sesungguhnya hasilnya hanya dinikmati orang-orang kaya bermodal. Negara meninggalkan sector fiscal atau sector riil yang hasilnya langsung dirasakan rakyat miskin. Alasanya tidak ada investor luar masuk kedalam negeri jadi pembangunan terhambat. Tidak ada inovasi dari pemerintah untuk menolong separuh rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan, selain menunggu belas kasihan dari para investor. Ini semua karena otak pembuatan kebijakan ekonomi nasional telah terasuki ideologi neoliberalisme yang tidak ingin repot melindungi rakyat banyak. Jadi tidak heran di Indonesia saat ini, meski angka pertumbuhan ekonomi meningkat dari tahun ke tahun, namun juga diirngi oleh rakyat melarat yang semakin meningkat juga dari segi kualitas dan kuantitasnya di tanah air. Dan sungguh suatu gambaran yang sangat kontras dengan profil pemimpin kita pada masa lalu. Di mana bangsa ini pada mulanya didirikan.
Demikianlah kondisi 10 tahun kekinian dari bangsa Indonesia, sudah barang tentu ini merupakan medan perang baru bagi perjuangan mahasiswa untuk membebaskan rakyat Indonesia dari ketidakadilan, kemiskinan dan ketidakberdayaan, dan melakukan perlawanan terhadap penguasa yang mulai lupa akan kewajiban-kewajibanya bagi seluruh negeri. Pergerakan mahasiswa harus kembali masif untuk menyegerakan terjadinya perubahan sosial di tanah air sebagai jalan terakhir menyelamatkan masa depan bangsa. Gerakan mahasiswa harus mampu menyegarkan kepemimpinan nasional dengan mengisinya melalui produktivitas dan masuk dalam ranah-ranah dan jejaring pengambil keputusan-keputusan yang strategis untuk perjalanan bangsa ini. Artinya kekuasaan adalah jalan yang mungkin untuk diambil dengan cara keilmuan dan kesegaran dari pemuda maupun mahasiswa.
B. Kader HMI sebagai Mahasiswa Intelektual dan Agen Perubahan
Sebagai bagian dari masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan tertinggi, dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. kombinasi antara kesadaran diri sebagai warga kaum cendekiawan dan harapan masyarakat terhadap golongan intelektual merupakan kekuatan pendorong bagi mahasiswa untuk ikut mengemban peran golongan intelektual dalam mewujudkan perubahan. Berdasarkan kapasitasnya sebagai kekuatan massa dan kaum intelektual, mahasiswa melaksanakan fungsi-fungsi kaum cendekiawan. Diantara lima kategori fungsi kaum cendekiawan, yaitu:
1. Menciptakan dan menyebar kebudayaan tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
2. Menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa melalui kawasan terpadu
3. Membina keberdayaan bersama,
4. Mempengaruhi perubahan sosial, dan
5. Memainkan peran politik.
Mahasiswa cenderung melibatkan diri dalam tiga fungsi yang terakhir. Sementara dua yang pertama, mahasiswa selalu tertinggal. Kalaupun ada hanya segelintir dari yang banyak. Sehingga ke depan perlu ada gerakan yang menggagas gerakan yang mempunyai fokus dan prioritas dua fungsi yang pertama. Dalam mewujudkan fungsi-fungsi itu, mahasiswa memainkan peran-peran sosial mulai pemikir hingga pelaksana.
Sebagai pemikir mahasiswa telah mencoba menyusun dan menawarkan gagasan-gagasan tentang arah dan proses pengembangan masyarakat. Sebagai pelaksana, kegiatan mereka terwujud dalam usaha-usaha untuk membangun kesadaran rakyat. Aktivitas keterlibatan mahasiswa dalam aksi-aksi sosial budaya dan politik untuk mendorong dan menggerakkan rakyat disepanjang sejarah Indonesia merupakan perwujudan dan peran kepemimpinan mahasiswa dalam melakukan perubahan sosial ditanah air.
Mahasiswa adalah kelompok minoritas sebagai a prophetic minority meskipun mahasiswa adalah kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa. Namun mereka bisa memainkan peranan profetik. Mereka melihat jauh kedepan dan memikirkan apa yang tidak dan belum dipikirkan oleh masyarakat umum. Dalam visi mereka, nampak ada kesalahan mendasar dalam masyarakat dan mereka menginginkan perubahan melalui jalan tranformasi masyarakat. Peranan mereka bagaikan nabi yang memberikan pencerahan bagi umatnya, bukan seperti pendeta atau kyai yang sudah terjerat dalam rutinitas mereka sendiri. Hal ini mengingatkan hadist Nabi SAW yang mengatakan “cendekiawan (ulama) adalah pewaris (cita-cita) para nabi”
Ketika melaksanakan peran-peran tersebut gerakan mahasiswa memiliki kekhasan pola gerakan yang membedakan ia dengan pola-pola gerakan lain. Gerakan mahasiswa khususnya HMI merupakan gerakan yang spontan, sarat dengan pertimbangan moral dan etika, sporadis atau peka terhadap batasan waktu, dan berkoalisi kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Sejalan dengan posisi mahasiswa di dalam peran masyarakat atau bangsa seperti yang dikemukakan di atas, dikenal dua peran pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mereka selama ini. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam hubuingannya dengan kekuasaan dan penyelenggaraan negara. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima altenatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh masyarakat itu sendiri, sehingga masyarakat berubah kearah kemajuan.
Di Negara dunia ketiga seperti Indonesia, status mahasiswa dan gerakannya sangat penting sebagai salah satu agent of change, karena tekanan politik ekstra parlementer merupakan salah satu mekanisme efektif untuk dapat mengontrol penguasa. Namun gerakan mahasiswa tidak bisa dipungkiri merupakan bukan merupakan elemen satu-satunya yang dapat mewujudkan perubahan dalam masyarakat, terkadang gerakan mahasiswa hanya mampu sebatas menjadi pendobrak dari kevakuman perlawanan yang ada terhadap penguasa. Setelah penguasa yang didobrak turun, maka gerakan mahasiswa akan menyerahkan kelanjutan proses tersebut kepada elemen masyarakat lain untuk melanjutkan. Karena memang gerakan mahasiswa dilandasi atas perjuangan moral meskipun wilayah perlawanannya berada pada wilayah politik. Namun hal inilah yang terkadang membuat perjuangan dari gerakan mahasiswa sulit untuk mewujudkan cita-citanya.
C. Strategi HMI dalam Mewujudkan Civil Society
Strategi HMI dewasa ini manghadapi dua tantangan besar dalam mewujudkan perannya. Pertama menghadapi implikasi dari proses globalisasi ekonomi, politik dan budaya yang berasal dari Negara-negara industri maju. Dengan perkataan lain gerakan mahasiswa melalui eksponen-ekponen dan kader-kadernya harus mampu membawa bangsanya ke dalam proses intregasi masyarakat internasional. Ini menyangkut kemampuan bangsa Indonesia secara teknis professional dalam berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, terutama dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kedua, tantangan yang menyangkut proses demokratisasi, dari segi ekonomi, politik dan sosio-kultural. Khusus untuk menyelesaikan tantangan kedua, gerakan mahasiswa harus mengembangkan strategi-strategi baru untuk mewujudkan dan mengawal perubahan social ditanah air seperti:
1. Menciptakan cita-cita bersama bangsa yang menjadi landasan pergerakan.
2. Menciptakan metode aksi yang merupakan kombinasi dari aksi massa dan aksi intelektual, orientasi gerakan tidak hanya tertuju pada struktur kekuasaan yang bermasalah, tetapi juga dditambah dengan pembentukan opini politik ditengah masyarakat luas sebagai aksi informasi dan penyadaran public.
3. Membina kekuatan dan jaringan yang terorganisir.
Dari masalah-masalh tersebut maka kita sebagai kader HMI harus lebih kritis dan bersifat pro aktif dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kurang brpihak kepada rakyat demi terwujudnya civil society. Selain itu kita harus berkoordinasi dengan kekuatan pergerakan lain seperti gerakan buruh, petani, nelayan, keagamaan, perkumpulan profesi dll, demi menyusun barisan oposisi ekstra parlementer yang akan melawan rezim. Dengan perlawanan yang terorganisir maka setiap potensi kekuatan yang ada dapat dimanfaatkan serta diberdayagunakan untuk mewujudkan perubahan social yang di kehendaki bersama. Gerakan HMI tidak boleh terlepas dari akarnya, yaitu rakyat. Maka dari itu setiap pikiran-pikiran rakyat yang menginginkan perubahan harus disosialisasikan sebagai proses pencerahan bagi rakyat lain mengenai kesalahan yang dilakukan penguasa yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Dengan begitu aksi-aksi mahasiswa tidak akan terasing dari rakyat. Rakyat akan tahu sesungguhnya apa yang diperjuangkan oleh HMI. Dan untuk mewujudkan civil society kader HMI harus merubah tatanan yang rusaj terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi umat dan bangsa saat ini memprihatinkan, dengan segala bentuk kefasekan. Umat islam tidak lagi memegang ukhuwah islamiyah dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat islam sendiri.
Kondisi tersebut mengharuskan pemuda beekerja keras dan saling bahu mebahu sebagai tulang punggung bangsa untuk melakukan perubahan masyarakat kita menjadi masyarakat madanidengan NDP untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Sebagai Kader HMI kita harus kritis dan bersifat pro aktif dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kurang brpihak kepada rakyat demi terwujudnya civil society.
B. Saran
Kita sebagai kader HMI yang mengemban misi keumatan dan misi kebangsaan untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya,dan mari ciptakan masyarakat madani demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
DAFTAR PUTAKA
Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interprestasi untuk Aksi. Mizan; Bandung. 1994
Madjid, Nurcholis. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai dalam Wacana Sosial Politik Kotemporer. Paramadina; Jakarta. 1998
Muchtar, Sidratahta. HMI dan Kekuasaan. Prestasi Pustaka; Jakarta. 2006
Saidi, Ridwan. Pemudsa Islam dalam Dinamika Politik Bangsa. CV. Rajawali; Jakarta. 1984
Antoh, Demmy, Rekonstruksi dan Transformasi Nasionalisme. Pustaka Sinar Harapan; Jakarta. 2007.
Raharjo, Sacipto. Membangun polisi sipil : perspektif hukum, sosial, dan kemasyarakatan. Penerbit Buku Kompas ; Jakarta 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar